“GARUDA DI LANGIT GAZA”
Angin gurun berhembus panas menyapu puing-puing bangunan di tepi kota Gaza dalam dunia alternatif, sebuah wilayah yang selama bertahun-tahun menjadi pusat ketegangan antara berbagai faksi bersenjata. Namun hari itu berbeda. Di balik kabut debu, tampak bendera biru-putih dari Pasukan Pertahanan Israel—IDF—bergerak hati-hati melewati jalan sempit. Mereka sedang melakukan operasi pencarian terhadap jaringan bersenjata yang diyakini bersembunyi di distrik padat penduduk.
Namun tanpa sepengetahuan mereka, sebuah unit khusus tengah mendarat di tempat yang sama: Pasukan Elit Garuda, satuan gabungan TNI paling modern dalam dunia alternatif ini, dikirim dalam misi kemanusiaan internasional untuk mengevakuasi warga sipil yang terperangkap. Walau ditugaskan sebagai pasukan penolong, mereka tahu bahwa wilayah itu adalah labirin berbahaya, penuh konflik, dan setiap langkah adalah pertaruhan.
Letkol Arya Pradipta, komandan unit Garuda, menatap layar taktis di pergelangan tangannya. “Semua unsur, laporan status,” katanya melalui sambungan komunikasi.
“Bravo satu siap,” suara Kapten Rani terdengar mantap.
“Tim medis sudah menyiapkan koridor evakuasi,” kata Letda Saka sambil merapikan peralatan.
Arya menarik napas panjang. “Target kita jelas. Kita masuk, evakuasi warga sipil, dan keluar. Hindari kontak tempur sebisa mungkin.”
Namun takdir jarang sejalan dengan rencana.
Saat matahari condong ke barat, langit mendung oleh asap hitam dari kejauhan. Tim Garuda bergerak cepat melalui gang sempit, berpegangan pada bayangan dan reruntuhan. Di depan, Kapten Rani memberi isyarat berhenti. Gelombang panas membuat udara bergetar, tapi ia dapat melihat bayangan bergerak.
Arya merayap maju, menatap melalui teropong termal. Siluet-siluet bersenjata bergerak rapi, formasi khas pasukan profesional. Di pundak salah satunya, tampak emblem singa bersayap—simbol unit tempur IDF dalam dunia alternatif ini.
“Kontak visual dengan pasukan IDF,” bisik Arya. “Mereka berada tepat di jalur evakuasi yang harus kita lewati.”
Dalam standar operasi internasional, dua satuan asing yang bertemu biasanya akan berkoordinasi. Namun, laporan intel sebelumnya menyebutkan bahwa IDF tengah melakukan operasi ofensif dan tidak menjamin komunikasi terbuka. Kondisi itu menimbulkan risiko besar bagi Garuda.
Rani menoleh pada Arya. “Kita putar, Komandan?”
Sebelum Arya menjawab, ledakan besar mengguncang bangunan terdekat. Debu berjatuhan seperti hujan. Teriakan warga sipil terdengar dari sebuah rumah yang sebagian runtuh.
“Tidak. Kita selamatkan mereka sekarang,” tegas Arya. “Kita tidak mundur.”
Tim Garuda bergerak cepat ke sumber teriakan. Di dalam rumah yang setengah roboh, seorang ibu dan dua anaknya terperangkap di bawah balok beton. Tim medis segera mengevakuasi dengan alat hidrolik portabel.
Namun suara langkah mendekat membuat Arya menoleh. Unit IDF yang tadi terlihat kini mengarahkan senjata ke arah bangunan, mengira ada ancaman di dalamnya.
Sersan Levi, pemimpin regu IDF itu, berteriak dalam bahasa Inggris, “Identify yourselves!”
Arya keluar dengan tangan terangkat sedikit, menunjukkan identitas perdamaian internasional yang ia bawa. “Kami Pasukan Garuda. Misi kemanusiaan. Ada warga sipil terluka di dalam.”
Sersan Levi menatap tajam, jelas curiga. “Wilayah ini dalam operasi militer aktif. Kalian harus mundur!”
“Kami tidak bisa,” jawab Arya. “Ada anak-anak di sini.”
Situasi menegang. Dua pasukan elite berdiri hanya beberapa meter, masing-masing menilai gerakan pihak lain. Namun sebelum ketegangan itu pecah, suara lain datang—teriakan peringatan dari salah satu prajurit IDF.
“Drone bermuatan! Dari arah timur!”
Sebuah drone modifikasi, diduga milik kelompok bersenjata lokal dalam cerita ini, meluncur rendah, siap meledak di tengah kedua pasukan.
Tanpa ragu, Arya dan Levi sama-sama bergerak. Arya memberi isyarat cepat. Rani mengangkat senapan khusus anti-drone, sementara dua prajurit IDF menembaki drone itu dari sisi lain. Dalam hitungan detik, tembakan presisi Rani mengenai baling-baling drone. Mesin berasap dan benda itu meledak di udara, jauh dari warga sipil.
Debu kembali berjatuhan, namun kini keheningan berubah. Dua pasukan yang hampir bentrok justru bekerja sama tanpa sempat merencanakan.
Levi menatap Arya, kali ini dengan ekspresi berbeda. “Kalian melakukan tembakan yang bagus.”
“Terima kasih,” jawab Arya singkat. “Sekarang izinkan kami menyelesaikan evakuasi.”
Levi menimbang sebentar. Ia mengangguk. “Kami akan mengamankan perimeter luar.”
Sementara tim medis Garuda mengevakuasi korban dari puing-puing, kedua unit pasukan itu—yang seharusnya berada dalam misi berbeda—justru membentuk perimeter gabungan. Di lorong sempit, prajurit Garuda dan IDF berdiri bahu-membahu, mengawasi ancaman dari berbagai arah.
Di tengah kekacauan, Kapten Rani sempat melihat seorang prajurit IDF muda yang tampak gugup. “Pertama kali di daerah konflik?” tanyanya singkat.
Prajurit itu sedikit terkejut, lalu mengangguk. “Ya. Kupikir aku siap, tapi... tempat ini lebih mengerikan dari yang kubayangkan.”
Rani tersenyum kecil. “Tidak ada yang benar-benar siap. Yang penting kamu tetap hidup dan lindungi orang-orang di sekitarmu.”
Di tempat lain, Arya dan Levi mengamati peta digital. “Ada jalur aman lewat gang barat,” kata Arya. “Jika kalian membantu menutup jalur utara, kita bisa membawa warga ini keluar.”
Levi terdiam sejenak, menilai kemungkinan itu. “Baik,” akhirnya ia berkata. “Tapi setelah evakuasi selesai, kami tetap melanjutkan operasi kami.”
“Itu urusan kalian,” jawab Arya. “Kami hanya ingin menyelamatkan orang-orang ini.”
Tak lama kemudian, suara lain terdengar—rentetan tembakan dari kejauhan. Kelompok bersenjata mendekat, mungkin tertarik oleh ledakan drone sebelumnya. Kedua pasukan harus bergerak cepat.
“Evakuasi mulai!” teriak Letda Saka sambil mengangkat anak yang sudah berhasil dikeluarkan dari reruntuhan.
Arah barat ternyata tidak sepenuhnya aman. Sebuah kelompok penyerang muncul, menutup rute itu. Rani langsung mengambil posisi tembak, sementara Levi dan prajuritnya menahan sisi lain.
Untuk pertama kalinya dalam operasi itu, pasukan Garuda dan IDF bertempur berdampingan. Peluru berseliweran, pantulan logam menghantam dinding sempit, sementara Arya mengawal ibu dan dua anak itu keluar dari zona bahaya.
Dalam situasi tersebut, bukan bendera yang penting—melainkan nyawa yang harus diselamatkan.
Rani memberikan isyarat. “Komandan, jalur sudah aman!”
Arya berlari bersama warga sipil itu, sementara Levi dan unitnya menutup formasi belakang. Saat mereka mencapai titik aman di sebuah gedung yang lebih stabil, suara tembakan mulai mereda.
Setelah semuanya selamat, Arya dan Levi berdiri di sebuah balkon terbuka, menatap kota yang dilumuri senja merah.
“Mungkin kalau bukan situasinya seperti ini, kita akan saling berhadapan sebagai musuh,” kata Levi, setengah bergurau.
“Mungkin,” jawab Arya, “tapi hari ini kita berjuang untuk hal yang sama.”
Levi mengangguk. “Semoga suatu hari tak perlu ada lagi pertempuran seperti ini.”
Arya menatap langit yang perlahan gelap. “Itu harapan semua orang yang pernah melihat perang dari jarak sedekat ini.”
Mereka berjabat tangan, singkat namun tulus, sebelum masing-masing kembali ke unit mereka.
Di kejauhan, sirene ambulans internasional mulai berdatangan, menjemput warga yang berhasil diselamatkan. Ketika helikopter evakuasi menjemput Pasukan Garuda, Arya menatap ke bawah—ke kota yang masih penuh luka, namun hari itu, setidaknya beberapa nyawa berhasil diselamatkan.
Dan ia tahu, meski konflik di dunia alternatif ini masih panjang, momen kecil kerja sama itu akan menjadi pengingat bahwa bahkan di medan perang sekalipun, kemanusiaan tidak pernah sepenuhnya hilang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar